Senin, 15 Juli 2013
PURITANISME DAN INDIVIDUALISME PENDIDIKAN: Penyakit Pendidikan Kita
Ada keyakinan dalam nuansa pendidikan kita, yang cendrung mengalami degradasi dalam peningkatan dan pengelolaan sistem pendidikan. Tanpa kita sadari, sebenarnya pendidikan kita mengalami cacat belajar (dan akan terus demikian) jika tidak diberikan terapi yang baik untuk mengobatinya. Semakin kita membiarkannya cacat, maka akan terus membudaya dan menyatu, yang pada gilirannya semakin penyakit itu meningkatkan stadiumnya hingga susah untuk diobati.
Penyakit yang melumpuhkan ini, akan menjadi bentuk yang melembaga jika tidak ada keyakinan untuk memperbaikinya. Disadari atau tidak, hal ini hanya sedikit orang yang mempertanyakannya, lebih sedikit lagi orang yang akan melakukan tindakan karena tidak mengertinya metode pembelajaran kita. Jelas, kita membutuhkan revolusi dalam seluruh pendekatan pembelajaran dalam dunia pendidikan, sehingga kita dapat membebaskan diri dari keyakinan dan praktik yang dipaksakan oleh kebudayaan yang sudah melembaga. Perubahan itu perlu, dalam praktiknya perubahan tidak harus mengubah seluruh sistem yang ada, tetapi perubahan cendrung pada pengertian pada penyempurnaan sistem dan tata laksananya.
Salah satu jalan untuk membebaskan diri kita dari keyakinan dan praktik yang melemahkan ini adalah memahami dari mana asal mereka dan bagaimana mulanya semua tertanam dalam sistem pendidikan kita. Begitu kita memahami hal tersebut, kita tidak lagi melestarikan budaya yang melemahkan pendidikan, karena yang terbaik adalah bagaimana pembelajaran itu terhindar dari cacat belajar, yang tentunya banyak merugikan siswa dan guru. Untuk itu, kebebasan guru untuk memilih pendekatan yang kreatif dan efktif dalam pembelajaran merupakan wajib dilakukan untuk membebaskan pendidikan dari demagogy yang melanda sebagian besar sistem pendidikan.
Konteks pendidikan kita sekarang masih merupakan warisan budaya yang lalu, yakni memaksakan siswa untuk lebih banyak menghapal pelajaran dari pada memberikan sugesti tentang makna belajar yang sesungguhnya. Banyak yang kita temui pada sekolah- sekolah, sebagai penyelenggara pendidikan masih menggunakan sistem menghapal bagi siswa, dan sistem monolog atau metode ceramah saja pada guru, yang demikian dikategorikan sebagai pendekatan pembelajaran tradisional.
Keduanya memang penting dalam menunjang hasil belajar, tetapi jika ada pendekatan yang lebih efektif dan menyenangkan siswa dalam memahami dengan cepat dan tidak mudah hilang, kenapa harus mempertahankan pendekatan tradisional, hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyempurnakannya atau memadukannya dengan pendekatan modern. Pendekatan hafalan dalam pembelajaran seakan tidak memberikan ruang bebas untuk berpikir yang lebih luas, padahal orang yang cerdas itu adalah orang yang memiliki pengetahuan luas, tanpa harus terpaku pada apa yang telah di hafalnya. Jika hal ini terus menerus berlangsung, maka kegiatan pembelajaran akan suram dan jauh dari menyenangkan, karena sikap monoton antara guru dan siswa masih dipertahankan.
Hal yang demikian adalah dinamakan puritanisme pendidikan, dimana dalam pembelajaran lebih banyak melakukan indoktrinasi, dalam artian pemaksaan untuk menghafal pelajaran dari pada memahami pelajaran. Puritanisme pendidikan cendrung mengarahkan siswa atau anak didik untuk berpikir tumpul dan menyebabkan logika yang kaku, dingin dan pesimistis. Coba bandingkan hasil belajar dengan menggunkan metode hafalan dan metode latihan secara terus menerus dalam menemukan makna belajar. Maka, hasilnya akan berbeda secara logika maupun teori. Anak didik yang cerdas karena hafalan akan terlihat kaku ketika berada diluar dunianya, sementara anak didik yang cerdas karena latihan lebih banyak akrif dalam menghadapi dunianya. Apalagi jika dipadukan keduanya, maka hasilnya pasti akan memuaskan. Disinilah letak kreativitas guru diperlukan, semakin bervariasi metode pendidikan maka pembelajaran semakin menyenangkan dan bermakna.
Untuk itu, mengobati penyakit puritanisme adalah bagaimana mengembalikan kegembiraan anak didik dalam belajar, tanpa tekanan dan paksaan untuk menguasai pengetahuan. Belajar dikatakan berhasil jika anak didik merasa bahagia dalam belajar dan pembelajarannya, artinya hasil yang akan dicapai akan maksimal tanpa harus mengorbankan banyak waktu. Mengobati puritanisme juga bisa dilakukan dengan meningkatkan minat anak didik melalui kegiatan yang menguntungkan dan mengeluarkannya dari rasa cemas dan ketakutan. Kuncinya, adalah penyakit puritanisme dapat diobati dengan meningkatkan kegembiraan anak didik, kegembiraan yang dimaksud disini bukanlah kegembiranaan dalam bentuk kesenangan sembrono atau hura- hura melainkan memberikan kedamaian yang mendalam kepada siswa atau anak didik. Dalam ilmu psikologipun sering mengungkapkan bahwa orang yang merasa murung, stress atau kaku tidak akan bisa melakukan apa- apa secara maksimal. Maka disinilah letak strategisnya dalam mengobati penyakit puritanisme pendidikan dengan mengelola metode pembelajaran yang bisa meningkatkan kegembiraan tanpa indoktrinasi.
Penyakit lain yang sering terjadi dalam dunia pendidikan adalah individualisme pendidikan. Secara umum individualisme secara umum dapat diartikan bahwa setiap orang untuk dirinya sendiri. Bayangkan jika hal ini, terjadi dalam dunia pendidikan kita, semakin sulit untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Karena jika guru mempunyai sikap individualisme maka perkembangan psikologi siswa dan perkembangan belajar siswa tidak akan terkontrol, jika guru hanya berpikiran untuk gaji, atau hanya menunaikan tugas wajib, bagaiman kehidupan dunia pendidikan kedepan.
Akibat lain dari penerapan individualisme dalam pendidikan adalah penentuan nilai- nilai yang bersifat individual dan kadang- kadang berdasarkan kurva nilai A banyaknya harus sekian. Maka siswa atau anak didik saling bersaing untuk meraih nilai dan kehormatan tinggi. Penyebab itu semua adalah anggapan banyak orang yang menganggap tujuan pendidikan adalah menghasilkan individu kuat dan mandiri yang dapat bekerja sendiri. Hal demikian bisa mengakibatkan pendidikan sering menjadi kurungan yang melembaga, karena kurangnya interaksi antar siswa yang lain. Tidak membudayanya belajar kelompok sebagaian siswa adalah manifestasi dari penerapan individualisme yang tentu merugikan anak didik itu sendiri, yann paling pokok sebenarnya adalah bagaimana interaksi antar siswa, guru, dan lingkungan dilakukan secara variatif untuk menghilangkan sikap individualisme dalan pendidikan.
Manusia diciptakan diberikan sifat untuk mengenal alam sekitar dan isinya, interaksi dengan alam dan manusia adalah ciri dari makhluk sosial. Dalam pendidikan dan pembelajaran, hal ini diperlukan untuk memberikan warna dalam pikiran dan pengetahuan anak didik atau siswa. Maka dapat dikatakan, belajar yang baik itu bersifat sosial. Jika setiap anak didik atau siswa saling membantu dalam belajar, pembelajaran akan meningkat pesat. Bimbingan antar sesama siswa akan meningkat lebih efektif dari pada bimbingan guru, karena siswa akan merasa gembira dan tanpa beban dalam mengekspresikan pikirannya. Jika bimbingan guru, sebagian siswa masih terlihat ragu- ragu untuk memberikan pandangan tentang suatu hal.
Direktur Center for Accelerated Learning asal Geneva, Dave Meier menyatakan bahwa dalam dunia pelatiahan, sering melihat berbagai keajaiban ketika kelas diubah dari sekumpulan individu yang terpisah- pisah menjadi satu komunitas belajar. Dalam pelatihan tersebut, Dave Meier telah menyaksikan meningkatnya kecepatan belajar dan daya ingat sebanyak lebih dari 300 %, angka kegagalan turun dari 40 % menjadi 2 %, dan nilai ujian membaik lebih dari 400 %.
Hal itu menunjukkan, kebanyakan orang belajar lebih baik secara bersama- sama daripada sendiri- sendiri. Jika setiap orang dalam suatu kelompok belajar menjadi pengajar dan pembelajaran sekaligus, tingkat stress menurun dan pembelajaran meningkat pesat.
Kedua penyakit diatas, yakni puritanisme dan individualisme hanyalah sebagian kecil dari penyakit pendidikan yang dapat menyebabkan cacat belajar pada siswa. Setiap masalah pasti ada solusinya, saatnya kita berbuat untuk menyembuhkan penyakit pendidikan tersebut, karena jika dibiarkan berlarut- larut akan mengakibatkan penyakit pendidikan itu akan semakin parah dan akan semakin sulit disembuhkan. Dukungan dari setiap lembaga dan pelaksana pendidikan mesti berperan penting dalam mengatasi hal ini, hanya dengan kemauanlah yang bisa mengubah semua menjadi baik, dan yang perlu diperhatikan juga adalah mengurangi komersialisasi dalam pendidikan, karna hal itu akan lebih memperparah sistem pendidikan kita yang sudah semakin membaik, meskipun setiap pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) indikasi- inndikasi kecurangan masih ada, semoga indikasi- indikasi itu hanya dugaan, hanya kita sendiri para profesionalis pendidikan yang mampu membuktikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar